Bumi Dipasena
Bumi Dipasena Utama merupakan kawasan tambak udang di kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Tambak udang ini merupakan salah satu kawan pertambakan terbesar di dunia yang dibangun oleh PT. Dipasena Citra Darmaja.
BUMI DIPASENA UTAMA
Bumi Dipasena Utama berbatasan dengan Bumi Dipasena Agung di utara, Bumi Dipasena Sentosa di selatan dan Jalur 62 di timur. Setidaknya ada beberapa pembagian wilayah yaitu Bumi Dipasena Abadi, Bumi Dipasena Agung, Bumi Dipasena Jaya, Bumi Dipasena Makmur, Bumi Dipasena Mulya, Bumi Dipasena Sejahtera, Bumi Dipasena Utama, Bumi Dipasena Sentosa. Luas kawasan ini sekitar 98.000 hektare dan Pembangunan wilayah ini penuh tantangan.
PEMBANGUNAN TAMBAK UDANG DIPASENA
Alur pembangunan tambak udang dipasena dimulai dari green belt (hutan mangrove) kurang lebih 75 km dengan luas 24.500 hektare, ini merupakan komitmen dipasena untuk menjaga lingkunga. Membangun 2 pemecah gelombang untuk dengan panjang kanal 1300km.
Pengaturan sistem perairan, inlet dan outlet air. inlet untuk masuknya air bersih untuk mengurangi pembawa penyakit. outlet untuk membuang air kotor. Terdapat kolam riset dan development setidaknya ada 181 kolam. Tim yang profesional bertanggungjawab dalam pengembangan tambak udang budidaya dan juga memperhatikan ramah lingkungan.
Produksi Udang Dipasena
Ada 2 hatchery untuk memproduksi 4.4 milyar benur pertahun. untuk memenuhi kebutuhan plasma yang ada di dipasena. Terdapat pabrik pembuatan pakan, dengan produksi hingga 216.000 ton pertahun. Ada 24.445 tambak yang diolah 12.032 petambak dan karyawan sejumlah 14.780 orang dengan produksi 20.000 ton udang pertahun 1996, penjualan diatas 300juta us dolar atau melebihi 4 triliun.
Kualitas udang internasional setara dengan grade A plus. total luas pengelohan udang 74.000m2 dengan produksi 150 ton perhari. Standar Operasional menggunakan kualitas terbaik dan ketat serta tidak menggunakan bahan pengawet dengan kapasitas produksi 2.000 ton perbulan. memiliki 2 kapal vesels dengan kapasitas 48 kontainer untuk mengekspor udang keberbagai negara untuk menjamin kesejahtraan petambak dan karyawan.
Kehidupan di Bumi Dipasena
Bagai kota yang mandiri untuk lebih dari 100ribu penduduk yang terdiri atas perumahan petambak sebanyak 12.000 rumah, karyawan seluas 330 hektar dan fasilitas pendukung lainnya. para petani tambak diberikan pelatihan pelatihan agar menjadi petani yang andal.
Ada SD, hingga D3 perikanan sebanyak 16 sekolah, dan 14 poliklinik. Tempat beribadah ada 15 masjid, 105 mushola, dan 3 gereja dan 1 pura bagi semua warga. Ada banyak kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk memperkuat tali silaturahmi.
Tambak udang dipasena yang terintegrasi dan enak segar disukai berbagai negara. udang dipasena di ekspor langsung dari bumi pasena ke seluruh dunia.
Namun bumi dipasena kini hanyalah sebuah kenangan manis dan konflik yang berkepanjangan.
Konflik di Bumi Dipasena
Konflik di Bumi Dipasena pun dimulai. Petambak plasma dan perusahaan terus bentrok oleh karena mekanisme kerja sama yang terjaga tak adil. Sementara pemerintahan tak dapat diharapkan muncul sebagai penyelesai persoalan lantaran selama ini cenderung berpihak pada perusahaan.
Pecahnya Demonstrasi
Pada tengah Oktober tahun 1999 amarah petambak terhadap perusahaan semakin membara. Kurang lebih 9.000 petambak plasma, beramai-ramai keluar area budidaya udang di Rawajitu, Kabupaten Tulangbawang, Lampung
Ini merupakan demonstrasi terbesar dan paling lama dalam riwayat perjuangan petambak plasma di Tanah Air menantang eksplorasi pemilik modal.
Beberapa petambak sudah menghadap Presiden Gus Dur untuk meminta keadilan. Tapi, tak siapapun berhasil membantu para petambak. Walau sebenarnya, beberapa petambak plasma itu jelas ditipu mentah-mentah oleh perusahaan.
Kronologi
Secara rangkaian kronologi, PT Dipasena Citra Darmaja masuk ke Rawajitu dan membangun kerajaan usaha udang di tahun 1988. Satu tahun selanjutnya, pertambakan udang paling besar di Asia Tenggara mulai bekerja pada pola Tambak Inti Rakyat.
Petambak sebagai plasma dan PT Dipasena sebagai inti. Ini skema kerja sama yang dipropagandakan dapat membawa kesejahteraan petambak rakyat. para petambak dikasih rumah sederhana dan dua petak tambak dengan luas masing-masing 2.000 meter persegi.
Apa yang didapat petambak itu dicatat menjadi hutang ke perusahaan, seluruhnya 135 juta rupiah per plasma. Petambak membayar hutang itu dengan pemotongan 20 % hasil pemasaran udang tiap panen.
Dengan langkah ini hutang petambak diprediksi lunas dalam 8 tahun dan kemudian tambak jadi punya plasma. Tapi, sampai tahun 1997, hutang petambak bukanlah lunas justru membesar jadi 300 juta sampai 700 juta rupiah per-orang.
Menurut PT Dipasena, hutang petambak membesar sebab kredit mereka dalam dolar. Saat rupiah terjatuh pada tengah tahun 1997, maka hutang petambak ikut. Ini jelas argumen yang dibuat-buat. Dikarenakan, kriris ekonomi terjadi semenjak Juli 1997, dan petambak plasma mencicil hutang itu sudah dari awal tahun 1989.
Semestinya utang semua petambak telah lunas, bukan malah semakin bertambah. Kenyataannya, penyimpangan dalam pola kerja sama di Bumi Dipasena telah terjadi semenjak awal.
Penipuan dan pemerasan PT Dipasena ke beberapa plasmanya dapat berjalan sekian tahun dikarenakan petambak dikerangkeng seketat mungkin. Hanya untuk alasan khusus mereka bisa keluar area tambak. Sepanjang itu, akses informasi untuk para petambak memang ditutup rapat.
Maka dari itu, petambak tidak tahu apakah yang terjadi di luar Bumi Dipasena. Terhitung masalah berapakah harga pasaran udang di pasaran. Oleh karena itu, perusahaan dapat membeli udang dari para plasma pada harga seenaknya dan semaunya.
Misalnya, sewaktu harga udang mencapai 120 ribu per kilo, hasil panen petambak cuman dibeli 37 ribu rupiah per kilo. Saat petambak ketahui beragam perbuatan penipuan dan pemerasan itu, mereka melawan.
Syamsul Nursalim, pemilik PT Dipasena memandang angin lalu tuntutan petambak para petambak. Dengan uang kepunyaannya, taipan usaha itu menggunakan tentara dan polisi untuk mengancam keluarga petambak.
Di tahun 2000 Syamsul Nursalim terlilit masalah BLBI, bantuan likuiditas Bank Indonesia. Ia didesak kembalikan uang negara yang ditilapnya dengan memberikan beberapa aset, terhitung PT Dipasena Citra Darmaja. Sejak itu, perselisihan petambak berkurang dan Bumi Dipasena dalam status-quo.
Petambak plasma terus berbudidaya udang dengan mekanisme sebar berdikari. Dengan langkah ini mereka malah lebih sejahtera.
Permasalahan ada kembali saat di tahun 2007 pemerintahan lewat PT Perusahaan Pengurus Asset menunjuk PT Aruna Wijaya Sakti ambil-alih Dipasena. Anak perusahaan Central Proteina Sempurna ini dikasih pekerjaan merevitalisasi tambak udang itu.
Pertambakan sisa punya Syamsul Nursalim itu akan dimodernkan kembali seperti di awal dibangun. Terhitung kembali mengaplikasikan skema inti-plasma.
Pada April 2008, PT Aruna Wijaya Sakti janji menuntaskan program revitalisasi di dalam 18 bulan. Namun, sampai Januari 2011, sesudah lebih dari 30 bulan, baru 5 block dapat direvitalisasi dari 16 block yang diprogram
Perusahaan ini tidak punyai cukup modal untuk merevitalisasi pertambakan udang itu secara cepat. Ketidakberhasilan PT Aruna Wijaya Sakti menjalankan janjinya itu jelas saja bikin rugi plasma. Karena, hutang petambak ke perbankan terus menimbun karena area tambak tidak selekasnya berproduksi.
Walau sebenarnya, sekarang ini ada 40 ribu jiwa keluarga petambak gantungkan hidup dengan jadi mitra PT Aruna Wijaya Sakti. Perusahaan itu juga dipandang tidak berhasil mengembalikan Dipasena untuk memakmurkan petambak.
Inilah yang melatari tindakan protes petambak dan masyarakat terhadap PT Aruna Wijaya Sakti. Beberapa petambak dibantu kelompok aktivis lingkungan hidup untuk menekan Presiden SBY agar turun-tangan menangani permasalahan itu.
Kasus ini sekaligus harus jadi jalan untuk pemerintahan untuk mempelajari pola tambak inti rakyat di semua Indonesia. Jika kerja sama itu selalu bikin rugi petambak rakyat. Karena, kerja sama dibuat secara tidak imbang.
Terus-terusan memberikan keuntungan perusahaan sebab bisa menjalankan bisnis tanpa keluar modal pembebasan lahan. Sementara resiko usaha dibagi ke seluruh petambak.
Hingga kini, rencana revitalisasi dari pemerintah masih diharapkan dalam menyelesaikan masalah konflik berkepanjangan ini. Dalam buku tulisan rokhim dahuri tentang menuju poros maritim dunia, adalah pengembangan di sektor budidaya. Namun, setiap rencana dan pemikiran tentang revolusi biru adalah angan-angan jika tidak pernah dilakukan eksekusi dan